Inkulturasi Tionghoa di Bangka
By:
Handoko
Wijaya
33411184
Bangka
Masa Lalu. Sumber: blog.imanbrotoseno.com
Inkulturasi budaya antar etnis kadang memberikan suatu warna yang khas
dalam membentuk suatu komunitas baru, hal ini terlihat secara khas pada pulau
Bangka. Pulau Bangka
terdiri dari berbagai macam etnis masyarakat. Salah satu etnis yang banyak
terdapat di Babel adalah etnis Tionghoa. Anda bisa menjumpai mereka dengan
mudah, sama seperti anda mencari rumah makan Padang. Karena itu sedikit banyak
terjadi pembauran antara bahasa Bangka dengan bahasa Tionghoa, yang dalam
bahasa Bangka disebut dengan orang Cina orang Cen atau orang Cin. Menurut
catatan Belanda, perpindahan orang Cina ini berlangsung sejak awal abad ke-18 atau
sekitar tahun 1710 Masehi. Komunitas Tionghoa terbesar di Babel berasal dari
suku Ke Jia (sering disebut orang Khe) dari propinsi Guang Dong, Tiongkok.
Mereka berangkat dari kampong-kampung didistrik tertentu seperti, Sin Neng, San
Wui, Hoi P’eng, dll. Menariknya, perpindahan mereka dari Tionghoa ke Bangka,
melakukan migrasi sistem bedol desa. Sebagian besar berasal dari satu kampung
halaman. Tak ubahnya para urban di Jakarta , saat mereka pulang kampung ke
Tiongkok sendirian, pulang ke Bangka mereka mengajak kawan dan sanak saudaranya
ikut serta. Dan itu berlangsung terus hingga abad ke-20. Arus pertama migrasi
bedol desa tersebut, tidak disertai kaum wanita, sehingga terjadilah perkawinan
campuran antara buruh migran dengan wanita setempat ataupun perempuan Jawa dan
Bali.
sumber:kaskus.co.id
Apa tujuan Mereka ke Bangka ?
Bagian terbesar dari migran tersebut adalah kuli
tambang timah. Seiring perjalanan waktu, di Pulau Bangka yang berada di bawah
Kesultanan Palembang ditemukan timah, dan tenaga kerja yang dianggap
berpengalaman adalah orang Tionghoa suku Kejia yang memang terkenal memiliki keahlian
di bidang pertambangan.Sultan Palembang meniru pengalaman Sultan Perak dan
Sultan Johor yang mempekerjakan pekerja tambang Tionghoa untuk mengolah
cadangan timah. Salah satu perintis yang diberi kepercayaan adalah Lim Tau
Kian, seorang Tionghoa Muslim asal Guang Zhou (Canton-Red), seorang sahabat
Sultan Johor.
Lim Tau Kian yang memiliki nama Melayu Ce Wan Abdulhayat bermukim di Kota
Mentok. Dia memiliki anak cucu yang memakai gelar dari Kesultanan Johor, yakni
Abang untuk lelaki dan Yang untuk perempuan (Sumber: Bangka Tin and Mentok
Pepper karya Mary F Somers Heidhues).
Buyung Benjamin seorang sesepuh Tionghoa Bangka,
menceritakan bahwa warga Tionghoa sudah ada di pulau Bangka sebelum kedatangan
Ekspedisi Zheng He (Cheng Ho dalam dialek Fujian-Red) tahun 1405 Masehi. “Saya
sendiri sudah keturunan ke sepuluh di Pulau Bangka. Hingga kini kami masih
mendengar cerita tentang keahlian leluhur kami dalam menambang timah,” kata
Buyung. Menurut Buyung, masyarakat Tionghoa-lah yang memperkenalkan teknik
bertambang yang hingga kini masih dikenal. Kosa kata “Ciam” (Jian dalam
Mandarin-Red) atau pengebor, “Sakan” alias pengayak pasir timah, hingga
“Kolong” yakni lubang tambang besar dari Dialek Ke Jia adalah sebagian kecil
dari bukti peninggalan tradisi Tionghoa yang masih bertahan hingga kini.
Sebelum Belanda bercokol di Bangka-Belitung,
kongsi-kongsi China terlebih dulu mengupayakan penambangan timah dengan izin
dari Sultan Palembang.
Seizin penguasa Kesultanan Palembang dan Kerajaan-kerajaan Melayu seperti
Lingga dan Johor yang silih berganti menanamkan pengaruh di Bangka-Belitung,
masyarakat Tionghoa pun membangun permukiman di sana. Permukiman mula-mula
berada di sekitar Panji dekat Teluk Klabat. Selanjutnya, seiring penemuan
tambang baru, permukiman berkembang di Toboali, Koba, Sungai Liat, Jebus,
Merawang, Baturusa, dan Koba di selatan Pulau Bangka.
Terciptalah pola permukiman yang unik, masyarakat
Bangka-Melayu tinggal di dekat sungai karena mereka berkebun. Sedangkan
perkampungan Tionghoa selalu berada di sekitar lubang tambang timah sesuai
jalur timah (tin trap-Red) di sepanjang Pulau Bangka dan Belitung. Pola
permukiman tersebut tetap bertahan hingga hari ini atau lebih dari tiga abad!
“Perkampungan Tionghoa selalu berada di sekitar jebakan timah atau bekas
tambang. Sedangkan perkampungan Melayu di sekitar sungai tempat mereka berkebun
dan mencari nafkah dari berladang,” kata Buyung Benjamin.
Sedangkan Ketua Badan Warisan Bangka (Bangka Heritage Society-Red) Hongky Lay
Listiyadhi menjelaskan, Para petinggi Tionghoa yang semula di sebut Tiko (Da Ge
dalam bahasa Mandarin-Red) yang artinya “Kakak” menjadi pemimpin komunitas
mereka. Selanjutnya pada zaman kolonial Belanda, para ketua Tionghoa tersebut
diberi pangkat titular sebagai Letnan dan Kapten China (Lieutenant dan Kapitein
de Chinezen-Red).
Mary F Somers Heidhues mencatat, migrasi kuli Tionghoa
sempat terhenti pada akhir abad ke-18 akibat gangguan bajak laut dan gangguan
penyakit beri-beri. Demikian pula pada suatu masa di abad ke-19 gangguan wabah
penyakit sempat menghambat laju migrasi dari Tiongkok ke Bangka.Umumnya para
kuli timah tersebut datang akibat informasi getok tular dari teman sekampung
yang sudah terlebih dahulu merantau ke Bangka. Tetapi, untuk berangkat,
biasanya mereka harus melalui agen tenaga kerja seperti PJTKI di Indonesia.
Agen tersebut ada yang berpusat di Singapura, Tiongkok ataupun Bangka.
Perlahan tapi pasti, jumlah migran tersebut terus bertambah hingga akhirnya
kaum wanita turut pula berdatangan ke Bangka. Mereka pun beranak-pinak di
Bangka-Belitung dalam kondisi serba memprihatinkan.
Nyaris serupa dengan nasib TKI yang disiksa di negeri jiran, demikian pula para
kuli tambang Timah Tionghoa. Mereka kerap diperlakukan tidak manusiawi, dijebak
dengan utang dari mandor, disediakan fasilitas judi dan permadatan sehingga
semakin terjebak lilitan utang serta pelbagai kekerasan lain.
Alhasil, aksi perlawanan dan terkadang berujung pada pemberontakan sering
terjadi. Salah satu tokoh Melayu Depati Amir yang menentang Belanda, menurut
Buyung juga dibantu oleh para tokoh-tokoh Tionghoa setempat. Demikian pula pada
akhir abad ke-19, terjadi pemberontakan Liu Ngie melawan kekuasaan Belanda yang
dimotori Tionghoa Bangka.
Bahkan, pada masa kemerdekaan pun, seorang tokoh Tionghoa yakni Tony Wen
menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan opium ke Singapura dan dari sana
menyelundupkan senjata untuk membantu perjuangan Republik Indonesia. Dia sempat
memimpin sejumlah laskar relawan internasional untuk melawan Belanda dalam
perang kemerdekaan di Jawa.
Kini nama Tony Wen diabadikan sebagai nama jalan di Kota Pangkal Pinang.
Penghargaan tersebut diberikan menyusul dinamakannya Bandara Pangkal Pinang
dengan nama Depati Amir.
Waktu berlalu, Bangka pun menjadi museum Budaya
Tionghoa khususnya suku Hakka. Ribuan klenteng besar dan kecil, rumah antik
berusia ratusan tahun, dan pola hidup tradisional merupakan warisan budaya yang
unik dan tiada duanya.
Hongky sebagai buyut dari Kapitein Tionghoa Lay Nam Chen menghuni rumah berusia
150 tahun lebih di pusat Kota Pangkal Pinang. Bangunan kayu antik peninggalan
para leluhur migran dari Tiongkok masih dapat dinikmati di sana-sini. Rumah
induk, halaman tengah dan bagian belakang yang luas merupakan pakem dari
bangunan masa itu.
Salah satu tempat yang masih utuh menggambarkan kehidupan seabad silam adalah
Kampung Gedong sekitar 90 kilometer sebelah utara Kota Pangkal Pinang atau
hanya sekitar setengah jam perjalanan dari Kota Sungai Liat. Perkampungan
tersebut adalah komunitas Tionghoa keturunan enam bos timah yang dahulu
menguasai kawasan Parit 6 atau Liuk Phun Thew dalam dialek Hakka.
Deretan rumah kayu antik, ornamen Tionghoa, kaligrafi Han Zi, tempat pemujaan
di depan rumah, dan klenteng pelindung desa merupakan pemandangan eksotis
berpadu dengan alam tropis Pulau Bangka. Pemandangan tersebut mengingatkan kita
pada film-film tahun 1940-an. Seperti bagian kota tua di Penang, Malaka, dan
China Town, Singapura, demikianlah suasana Kampung Gedong.
Suasana di permukiman yang hanya dihuni sekitar 50 keluarga itu sangat sepi dan
tenang. A Kiong, warga setempat mengatakan, warga di situ selalu berkumpul di
sore hari.
“Setiap hari besar seperti Imlek, Peh Cun, Qing Ming pasti digunakan untuk
berkumpul warga,” kata A Kiong yang sehari-hari membuat kerupuk ikan.
Dalam sejumlah perayaan, sering kali diarak lakon Sun Go Kong (Sun Wu Gong-Red)
yang menjadi Dewa Pelindung Kampung Gedong. Menurut Hongky, sejak tahun 2000,
Kampung Gedong ditetapkan sebagai desa wisata.
Namun, perlahan tapi pasti, generasi muda Kampung Gedong yang berpendidikan
baik mulai meninggalkan kampung halaman mereka. Yang unik adalah, kaum muda
yang tersisa kembali bekerja di tambang timah tradisional (kerap disebut
Tambang Inkonvensional atau TI-Red) mengikut jejak langkah nenek moyang mereka
dengan teknik yang kurang lebih sama. Sedangkan berkebun lada sudah tidak lagi
dilakukan karena harga lada yang telanjur hancur.
Tampaknya sejarah Tionghoa dan timah di Bangka sedang terulang kembali. Tentu
saja kali ini tidak diikuti kedatangan kuli timah dari Tiongkok. Menurut
pengamat budaya asal Pangkalpinang, Willy Siswanto, sejarah ini memunculkan
kesadaran bersama di antara masyarakat China dan Melayu serta kelompok lain di
Bangka Belitung. Mereka sama-sama menyadari, kehidupan di kepulauan itu
berangkat dari usaha timah. Kesadaran ini melahirkan kedekatan emosional dan
ada perasaan senasib, tanpa memedulikan suku, ras, dan golongan.Kesadaran itu
lantas diturunkan dari generasi ke generasi, baik oleh masyarakat China,
Melayu, maupun kelompok lain. Kebetulan sekali, kawasan Bangka Belitung tidak
memiliki sejarah kerajaan besar yang mewariskan feodalisme-monarki sehingga
tidak memicu budaya kelas. Tak ada stratifikasi sosial di kepulauan itu.
Meski ada ikatan sejarah,
hubungan Melayu-Tionghoa di Bangka Belitung sebenarnya juga tak luput dari
gesekan. Menurut Suhaimi Sulaiman, pada masa penjajahan Belanda, rasa iri
terhadap orang-orang Tionghoa yang dianakemaskan oleh Belanda juga terjadi di
wilayah kepulauan itu. Namun, dalam perkembangannya, ketika Indonesia sudah
merdeka, orang-orang Tionghoa di Bangka Belitung mulai berkolaborasi dengan
orang-orang Melayu. ”Caranya ya itu tadi, mereka memberi berbagai kemudahan
untuk orang Melayu,” kata Suhaimi.
Sumber terkait: