.
PERAYAAN GALUNGAN DI BALI
Umat Hindu di Bali memiliki banyak hari raya, salah satunya
adalah Galungan. Dirayakan setiap 6 bulan sekali jatuh pada hari Rabu Kliwon
Dunggulan. Pada hari itu sejak pagi hari ibu ibu remaja dan anak anak sudah
bersiap melakukan persembahyangan di pura atau sanggah masing masing. Mereka
membawa aneka sesajen. Yang paling utama adalah banten Galungan, terdiri dari
rangkaian buah, ada pisang, jeruk, manggis dan mangga.
Di beberapa tempat cukup diletakkan pada wadah ceper disebut bokoran. Diatasnya
diberi canang, yakni rangian bunga dan alas janur yang menyimbulkan sang
pencipta beserta semua isinya. Dari rumah mereka sudah membawa beberapa bokoran
yang disarati dengan sesajen itu. Pertama sekali mereka menghaturkannya di pura
keluarga atau disebut merajan. Kemudian ke pura desa, pura puseh dan pura
dalem. Tiga pura yang selalu ada di setiap desa adat di Bali.
Dari rumah kebanyakan mereka berjalan kaki karena memang dekat. Hanya beberap
saja yang menggunakan sepeda motor.
Bali pagi itu terasa
seperti di nirwana, setiap pertigaan yang ada tugu peringatan kita akan
berpapasan dengan orang yang menyunggi sesajen. Begitu juga di sanggah merajan
dan pura. Perayaan Galungan ini adalah simbol dari kemenangan darma melawan
adarma. Mereka melakukannya dengan khusuk dan dengan serius. Upacara di setiap
pura biasanya berlangsung sampai sekitar jam 9 pagi. Kemudian dilanjutkan
dengan hadirnya kaum pria, pemuda dan anak anak yang akan menghaturkan
persembahyangan. Bau dupa atau menyan yang harum semerbak menyeruak ke segala
penjuru Bali. Mereka yang bersembahyang juga
melakukannya dengan berjalan kaki. Sehingga suasana di kampung terutama sangat
melankolis dan romantik, pria mengenakan daster dan para wanita mengenakan
kebaya dan kemben.
Persembahyangan berlangsung sampai tengah hari, dilanjutkan
dengan marid sodan di setiap pura dan sanggah dan merajan. Suasana ini
berlangsung sampai sore hari di beberapa tempat malahan sampai malam hari. Pada
hari itu mereka merayakan kemenangan darma dengan tetap menjaga keharmonisan.
Di setiap tempat di Bali
suasana nirwana itu begitu nyata. Karena pada hari itu seluruh penduduk kampung
desa dan kecamatan di Bali mudik ke kampungnya
masing masing. Mereka melakukan persembahyangan bersama di pura keluarga, di
pura desa dan di pura yang lebih besar lingkupnya. Tidak ada aktivitas kerja
saat itu, buruh libur, pagawai juga libur. Sekolah juga diliburkan sehingga semuanya
bisa melakukan persembahyangan dengan khidmat.
Keesokan harinya disebut dengan manis Galungan. Banten dan
segala perlengkapan upakara Galungan hari itu dilebar atau disurud. Mereka yang
punya anak kecil melakukan yang namanya natab banten Galungan. Sejak pagi hari
mereka sudah sibuk dengan persiapan yang bagi anak anak sangat menyenangkan
itu. Setelah natab selesai mereka merayakan manis Galungan. Ada yang berwisata ke Begudul, Sangeh dan
tempat keramaian lainnya. Tapi ada juga yang hanya saling mengunjungi dengan
tetangga kerabat dan saudara yang lama tidak berjumpa.
Hidangan saat itu adalah jajan uli dan tape ketan. Setiap
keluarga di Bali biasanya menyiapkan penganan
penyambut Galungan ini sejak seminggu sebelumnya. Penganan wajibnya adalah
satuh, yang terbuat dari ketan yang disangrai dan diberi ulenan gula aren
kemudian dicetak dalam bentuk bundar atau berupah kerucut segitiga. Yang
menyimbulkan bahwa mereka yang memakannya senantiasa ingat akan lingkaran atau
siklus kehidupan yang selalu seimbang antara suka duka, sedih gembira.
Juga pada hari itu banyak hiburan diadakan, jaman dulu
dipentaskan bondres atau wayang. Belakangan karena kedua kesenian itu makin
sedikit penggemarnya yang ditampilkan adalah penyanyi pop Bali
yang mendendangkan lagu yang memberi semangat kepada pendengarnya untuk
menjalani hidup dengan tidak ngoyo.
Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan
mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman
Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam
Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam
ini juga sudah diadakan.
Galungan
dalam Lontar Sunarigama
Penjelasan Hari Raya Galungan
tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini
dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan
kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa
bersinonim dengan kata Dungulan yang artinya menang atau
unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini
merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan.
Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi
kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu,
Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri
setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan
gelap (adharma) dalam diri.
Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja,
termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk
sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup.
Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah
Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung,
dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak
di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.
Penjorpun memiliki suatu makna yang dalam dimana
Penjor
terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang
pengayat
ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah
penjor
itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya
Galungan, karena
penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada
penjor
digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan
lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai
arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada
manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi.
Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita
semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama
hangayu bagia,
menghaturkan rasa
Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa
material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa
kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah
dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang
berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau
pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan
(kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan
kesenian, malam sastra,
mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya.
Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan
drsta
lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila.
Agama disesuaikan dengan
desa,
kala dan
patra. Selanjutnya
oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat
persembahyangan, misalnya: di
sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti
pura-pura
Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para
spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan
dharana, dyana dan
yoga
semadhi.
Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian
yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri
dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian
Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran.
Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi
hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa
membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana
yang tidak patut.
Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah
Sugian Jawa,
maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta. Bhuana agung
menyucikan alam lingkungan hidup kita ini.
Sedangkan
Sugian Bali
pada
Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk
menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu
untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari
penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada
Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam
hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam
diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan
tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan.
Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di
pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru
yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati
kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Tuhan yang
Maha Esa.
Kesimpulan:
- Dalam menyambut dan
merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah TUHAN dalam
batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa.
- Terangkan hati, agar
menjadi berani, kokoh dan kuat, dalam menghadapi hidup di dunia.
- Hemat dan sederhanalah
dalam mempergunakan biaya.
- Terakhir dan bahkan yang
terpenting ialah mohon anugrah TUHAN dengan ketulusan hati.