Minggu, 04 November 2012

Korupsi : Tantangan Baru Bagi Dunia Pendidikan Indonesia



Korupsi : Tantangan Baru Bagi Dunia Pendidikan Indonesia

 sumber gambar: lokerseni.web.id
Fenomena korupsi bukan hal yang baru, mungkin telah ada sejak awal sejarah manusia kecuali pada masa yang sangat primitif, dimana secara konsep prilaku belum dikenal meskipun gejalanya bisa saja sudah ada. Korupsi secara historis merupakan konsep dan prilaku menyimpang secara hukum, ketika secara sosial polotik telah terjadi pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, namun pada masa kekuasaan dikaitkan dengan hereditas dan pelimpahan wewenang dari yang maha kuasa (kekuatan supranatural) dan atau karena kepahlawanan (knight) yang diikuti dengan perasaan berhak atas keistimewaan (dengan dukungan diam-diam dari rakyat) maka terdapat kecenderungan untuk melihat bahwa pemanfaatan berbagai sumberdaya finansial dan non finasial untuk kepentingan penguasa atau Knight sebagai hal yang wajar meskipun at the expense of the people, karena keluarbiasaan historis dan kekuasaannya yang bukan berasal dari rakyat.
Onghokham telah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana menurut dia fenomena korupsi telah ada  sejak jaman kerajaan-kerajan di indonesia melalui venality of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melakukan hal ini pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik secara universal maupun keindonesiaan, korupsi memppunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, dan makin meningkat seiring dengan upaya pembangunan yang massif yang menggunakan dana besar dalam bentuk pinjaman Luar Negeri sebagai bagian inheren bagi hampir semua negara berkembang untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat melalui rezim Developmentalist.

Apa itu korupsi ?
The word corrupt (Middle English, from Latin corruptus, past participle of corrumpere, to destroy : com-, intensive pref. and rumpere, to break) when used as an adjective literally means “utterly broken”  Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan syah.
Wertheim menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Sementara itu Alatas  menyatakan bahwa korupsi secara umum adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi. Lebih lanjut Alatas menyebutkan tiga fenomena yang termasuk dalam korupsi yaitu bribery, extortion dan nepotism. Dengan demikian korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus dan kesewenangan terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang/kekuasaan dan kekuatan kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan/kekuaasaan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Apa penyebab korupsi ?
Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks sosial yang membentuk konsep diri dan definisi situasi seseorang yang ketika terjadi proses soaial akan mendorng berbagai kecenderungan muncul sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang terbuka maupun tertutup. Korupsi cenderung terjadi secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada upaya untuk menutupinya. Menurut  Wang An Shih tokoh besar Cina yang hidup pada aban 11, korupasi terjadi karena buruknya hukum dan buruknya manusia. Yang pertama terkait dengan atribut  kelembagaan (institutional attributes) dan yang kedua dengan atribut masyarakat (societal attributes), dan secara lebih rinci Alatas (1983) menyebutkan  faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah :
  1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
  2. Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
  3. Kolonialisme
  4. Kurangnya pendidikan
  5. Kemiskinan
  6. Tiadanya tindak hukum yang keras
  7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
  8. Struktur pemerintahan
  9. Perubahan radikal
  10. Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat kausal, namun demikian hal yang dapat dicatat adalah bahwa menghilangkan penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin korupsi akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam kehidupan bangsa.

 Apa kondisi yang kondusif bagi munculnya korupsi ?
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ada yang bersifat aktual dan potensial dalam arti bisa saja terjadi perubahan dalam penyebab tidak serta merta dapat menjadi pengurang terjadinya korupsi karena bila trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan kondisi-kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kindisi  tersebut mencakup hal-hal berikut :
  1. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
  2. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
  3. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
  4. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
  5. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
  6. Lemahnya ketertiban hukum.
  7. Lemahnya profesi hukum.
  8. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
  9. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
  10. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
  11. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. (Wikipedia)
Oleh karena itu disamping diperlukan menghilangkan penyebab-penyebabnya, diperlukan juga upaya mempersempit ruang gerak atau kondisi yang dapat memicu terjadinya korupsi, agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan signifikan bagi penguatan kehidupan berbangsa.
Apa akibat/dampak korupsi ?
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
  1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
  2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
  3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
  1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
  2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
  3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
  4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Persepsi Korupsi di Indonesia masih menanjak pada tahun 2011, berikut laporan terakhir CPI dari TI:
Corruption Perception Index 2011
Indonesia Masih Berada di Jajaran Bawah Negara-negara Terbelenggu Korupsi
Kamis, 01 Desember 2011 16:01:10 | Riset | (5451 view)
Jakarta, 1 Desember 2011. Korupsi adalah isu global. Usaha pemberantasan korupsi di Indonesia, harus selalu mengakar pada konteks dan kepentingan bangsa. Namun di tengah dunia yang semakin tanpa batas, maka kita tidak bisa melupakan posisi relatif negara kita dibanding dengan negara-negara lain di dunia dalam usaha pemberantasan korupsi. Krisis ekonomi di Eropa maupun gerakan perlawanan terhadap rezim pemerintahan di negara-negara Arab pada awal tahun ini, menunjukkan bahwa kekacauan suatu negara akibat buruknya tata kelola ekonomi maupun maraknya korupsi tidak hanya akan merusak negara tersebut, namun memiliki potensi efek domino terhadap negara-negara lain di sekitarnya.
Transparency International (TI) kembali meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) pada hari ini secara global. Tujuan peluncuran CPI setiap tahun adalah untuk selalu mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia. Tahun ini CPI mengukur tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, di mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10 berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua pertiga dari negara yang diukur memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia.
CPI adalah sebuah indeks gabungan. Indeks ini dihasilkan dari penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional yang terpercaya. CPI mengukur persepsi korupsi yang dilakukan politisi dan pejabat publik.
Jajaran Bawah
Pada tahun ini, 5 negara dengan skor tertinggi adalah Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Swedia, dan Singapura. Sementara negara-negara dengan skor terendah (5) adalah Uzbekistan, Afghanistan, Myanmar, Korea Utara, dan Somalia.
Pada tahun ini, skor Indonesia dalam CPI adalah 3.0. Bersama dengan Indonesia, ada 11 negara lain yang mendapatkan skor 3.0 dalam CPI tahun ini. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname dan Tanzania. Indonesia dan negara-negara tersebut menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Sementara Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar skornya lebih rendah dari Indonesia. (skor masing-masing negara dapat dilihat di tabel yang terlampir).
Tidak ada Perubahan
Pesan yang bisa ditangkap dari hasil CPI adalah tidak ada perubahan signifikan yang terjadi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Metode pengukuran CPI mensyaratkan kriteria yang dapat menunjukkan indikasi perubahan persepsi korupsi antar tahun (2010 dan 2011) adalah perubahan skor minimal 0.3 didukung dengan perubahan yang konsisten (searah) dari minimal setengah dari sumber data penyusun indeks. Berdasarkan kriteria tersebut, negara-negara yang terindikasi persepsi korupsinya naik adalah Norwegia, Rwanda, Taiwan, Georgia dan Chad. Sementara Oman dan Haiti terindikasi mengalami penurunan. Perubahan skor 0.2 antara tahun 2010 dan 2011 tidak berarti apa-apa secara metodologi, alias pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat. 
Target ambisius
Secara sangat ambisius pemerintah Indonesia mentargetkan untuk mendapat skor 5.0 dalam CPI tahun 2014. Sayangnya, hasil CPI tahun ini menunjukkan bahwa memang belum ada perubahan berarti yang sudah dilakukan Indonesia untuk menciptakan perubahan tersebut.
Agar pemerintah Indonesia memilki arah dalam mencapai targetnya yang ambisius tersebut, ada beberapa langkah kongkrit yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah Indonesia harus melakukan perbaikan serius terhadap proses perijinan usaha. Sumber data CPI salah satunya adalah para pelaku bisnis, sehingga perbaikan di sektor ini sangat krusial dalam meningkatkan skor CPI. Sayangnya, sampai saat ini justru tidak terlihat perbaikan di sektor tersebut. Justru berdasarkan survei Global Competitiveness Report 2010-2012 yang dilakukan World Economic Forum, peringkat Indonesia turun. Kedua, perbaikan menyeluruh pada institusi penegak hukum. Ketiga, penyelesaian kasus-kasus tingkat tinggi yang melibatkan politisi maupun pejabat publik tingkat tinggi. Hal ini sesuai bila dikaitkan dengan indikator korupsi dari TI yang lain, yaitu Global Corruption Barometer, yang secara konsisten menempatkan polisi, parlemen, dan pengadilan sebagai institusi-institusi yang paling bermasalah korupsi di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, TI-Indonesia dalam kaitannya dengan peluncuran CPI 2011 mendorong pemerintah agar:
  1. Melakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan komprehensif untuk menutup peluang korupsi dalam proses perijinan usaha, pajak, dan bea cukai.
  2. Melakukan perbaikan menyeluruh pada institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan.
  3. Melakukan penegakan hukum yang keras terhadap politisi, mafia hukum dan pejabat publik tingkat tinggi yang terlibat korupsi

 Apa Peran Pendidikan dalam menanggulangi korupsi ?.
Pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkat produktivitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa. Terlepas dari masalah korupsi itu sebagai budaya atau bukan yang jelas peran pendidikan akan dapat membantu meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas korupsi. Buruknya manusia dapat ditranformasikan ke dalam hal yang positif melalui pendidikan, karena pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan upaya normatif yang mengacu pada nilai-nilai mulia yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa, yang dengannya nilai tersebut dapat dilanjutkan melalui peran transfer pendidikan baik aspek kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan membimbing manusia menjadi manusia manusiawi yang makin dewasa secara intelektual, moral  dan sosial, dalam konteks ini pendidikan merupakan pemelihara budaya. Namun demikian dalam konteks perubahan yang cepat dewasa ini pendidikan tidak cukup berperan seperti itu namun juga harus mampu melakukan transformasi nilai dalam tataran instrumental sesuai dengan tuntutan perubahan dengan tetap menjadikan nilai dasar sebagai fondasi.
Dengan demikian secara umum pendidikan dapat dipandang sebagai upaya preventif bagi berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun secara empiris jelas tidak cukup mengingat faktor pressure sosial politik yang dapat juga mendistorsi peran normatif tersebut. Belakangan ini memang berkembang wacana akan perlunya pendidikan karakter, namun jika dilihat secara substantif pendidikan kita seperti tertuang dalam Undang-undang no 20 th 2003 sebenarnya adalah pendidikan karakter, jadi pendidikan karakter ya pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan karakter pendidikan bangsa dapat diselenggarakan dengan menjunjung tinggi kemandirian dan kejujuran, beberapa kasus yang terjadi justru kebijakan pendidikan tertentu  (seperti UN) telah banyak mendorong sikap dan prilaku ketidak jujuran yang dapat menjadikan orang terbiasa dengan kecurangan  yang nota bene merupakan potensi bagi berkembangnya korupsi atau paling tidak pengabaian terhadapnya.  Dengan demikian pendidikan merupakan sarana atau bisa juga dipandang  sebagai suatu respon yang tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui reformasi sosial yang pada gilirannya dapat menjadi pemicu bagi terjadinya reformasi kelembagaan, sebab Possible responses to these underlying causes of corruption include institutional reforms to limit authority, improve accountability, and realign incentives, as well as societal eforms to change attitudes and mobilize political will for sustained anti-corruption interventions. While the handbook offers detailed descriptions of different types of institutional and societal reforms, a strategy to fight corruption cannot and need not contain each of the institutional and societal reforms discussed. Strategy choices must be made after taking into account the nature of the corruption problem and the opportunities and constraints for addressing it. Reformasi kelembagaan dapat memagari secara eksternal kemungkinan prilaku korupsi, dan reformasi masyarakat dapat memagari secara internal kemungkinan  tumbuh dan berkembangnya prilaku korupsi, dan semua ini dapat memperbaiki hukum (aspek kelembagaan) dan memperbaiki serta meningkatkan mutu manusia, dalam konteks inilah pendidikan menjadi amat penting.
Berikut merupakan salah satu kesungguhan China dalam memberantas korupsi dalam Bidang Pendidikan yang dapat menginspirasi perguruan tingi- perguruan tingi di Indonesia:

BERITA - berita-dunia.infogue.com - Satu universitas di China membuka program studi pasca sarjana bidang anti korupsi yang pertama di negeri itu. Dengan demikian, para lulusan akan menerima gelar master bidang anti korupsi.

Menurut harian The Global Times, semester pertama program itu sudah dimulai awal pekan ini di Universitas Renmin China di Beijing. Para peserta studi kali berjumlah tiga puluh orang.

He Jiahong, deputi direktur pusar penelitian hukum kriminal di Universitas Renmin mengungkapkan bahwa sejumlah jaksa bidang anti korupsi dari pemerintah pusat bersama beberapa akademisi dilibatkan menjadi dosen. Mereka tidak hanya memberi tutorial metode investigasi, namun juga memberi panduan bagaimana menangani kasus-kasus korupsi.

"Kursus ini memainkan peran positif dalam penegakan anti korupsi," kata Profesor Lin Zhe dari Sekolah Pengkaderan Partai Komunis China.

He Jiahong mengungkapkan bahwa salah satu fokus dari program itu adalah bagaimana memperoleh keterangan dari para saksi, termasuk mempelajari mimik muka dan penerapan uji melacak kebohongan. "Beberapa dari peserta akan menjadi pakar dalam mengelola uji poligraf," kata He.

Para calon mahasiswa pun menjalani proses seleksi yang ketat. "Korupsi merupakan masalah yang serius di China. Maka perlu ada suatu pendidikan khusus untuk mempelajari anti korupsi," kata Lin Zhe.
            Sumber: www.infogue.com



The duty of youth is to challenge corruption.”
Kurt Cobain




Sumber  terkait:
Onghokham, Tradisi dan Korupsi, Prisma no 2 , tahun XII,  pebruari 1983
Frederickson, George, H. 1984. Administrasi Negara Baru. Terjemahan. Jakarta. LP3ES. Cetakan Pertama.
http://uharsputra.wordpress.com
Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit Sinar Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar