Korupsi : Tantangan Baru Bagi Dunia Pendidikan Indonesia
sumber gambar: lokerseni.web.id
Fenomena korupsi bukan hal yang
baru, mungkin telah ada sejak awal sejarah manusia kecuali pada masa yang
sangat primitif, dimana secara konsep prilaku belum dikenal meskipun gejalanya
bisa saja sudah ada. Korupsi secara historis merupakan konsep dan prilaku
menyimpang secara hukum, ketika secara sosial polotik telah terjadi pemisahan
antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, namun pada masa kekuasaan
dikaitkan dengan hereditas dan pelimpahan wewenang dari yang maha kuasa
(kekuatan supranatural) dan atau karena kepahlawanan (knight) yang diikuti
dengan perasaan berhak atas keistimewaan (dengan dukungan diam-diam dari
rakyat) maka terdapat kecenderungan untuk melihat bahwa pemanfaatan berbagai
sumberdaya finansial dan non finasial untuk kepentingan penguasa atau Knight
sebagai hal yang wajar meskipun at the expense of the people, karena
keluarbiasaan historis dan kekuasaannya yang bukan berasal dari rakyat.
Onghokham telah mencoba mengkaji
masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana menurut dia fenomena korupsi
telah ada sejak jaman kerajaan-kerajan di indonesia melalui venality
of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang
mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan
pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse
of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan
serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melakukan hal ini pada
daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa
daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik secara universal maupun
keindonesiaan, korupsi memppunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan
masyarakat, dan makin meningkat seiring dengan upaya pembangunan yang massif yang
menggunakan dana besar dalam bentuk pinjaman Luar Negeri sebagai bagian inheren
bagi hampir semua negara berkembang untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat
melalui rezim Developmentalist.
Apa itu korupsi ?
The word corrupt (Middle English, from Latin corruptus,
past participle of corrumpere, to destroy : com-, intensive pref. and rumpere,
to break) when used as an adjective literally means “utterly broken” Korupsi
(bahasa Latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak para ahli yang mencoba
merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara
penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan
yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-diam
kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu
atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan tujuan kekuasaan
asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu
dengan syah.
Wertheim menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan
melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan
kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam
bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim
menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh
seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya
atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap
sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling
menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas
pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham
keuangan pribadi dengan masyarakat.
Sementara itu Alatas
menyatakan bahwa korupsi secara umum adalah apabila seorang pegawai
negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud
mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi.
Lebih lanjut Alatas menyebutkan tiga fenomena yang termasuk dalam korupsi yaitu
bribery, extortion dan nepotism. Dengan demikian korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus dan kesewenangan terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang/kekuasaan dan kekuatan kekuatan formal (misalnya denagan
alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan/kekuaasaan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Apa penyebab korupsi ?
Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks sosial yang
membentuk konsep diri dan definisi situasi seseorang yang ketika terjadi proses
soaial akan mendorng berbagai kecenderungan muncul sejalan dengan kebiasaan
yang ada baik yang terbuka maupun tertutup. Korupsi cenderung terjadi secara
tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada upaya untuk menutupinya. Menurut
Wang An Shih tokoh besar Cina yang hidup pada aban 11, korupasi terjadi karena buruknya
hukum dan buruknya manusia. Yang pertama terkait dengan
atribut kelembagaan (institutional attributes) dan yang kedua
dengan atribut masyarakat (societal attributes), dan secara lebih rinci Alatas
(1983) menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
- Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
- Kolonialisme
- Kurangnya pendidikan
- Kemiskinan
- Tiadanya tindak hukum yang keras
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
- Struktur pemerintahan
- Perubahan radikal
- Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat
kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta ada yang bersifat mandiri dan
yang bersifat kausal, namun demikian hal yang dapat dicatat adalah bahwa
menghilangkan penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin korupsi akan
hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam
kehidupan bangsa.
Apa kondisi yang kondusif bagi munculnya
korupsi ?
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ada yang
bersifat aktual dan potensial dalam arti bisa saja terjadi perubahan dalam
penyebab tidak serta merta dapat menjadi pengurang terjadinya korupsi karena
bila trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan kondisi-kondisi yang
kondusif bagi terjadinya korupsi. Kindisi tersebut mencakup hal-hal
berikut :
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. (Wikipedia)
Oleh karena itu disamping diperlukan menghilangkan
penyebab-penyebabnya, diperlukan juga upaya mempersempit ruang gerak atau
kondisi yang dapat memicu terjadinya korupsi, agar upaya pemberantasan korupsi
dapat berjalan efektif dan signifikan bagi penguatan kehidupan berbangsa.
Apa akibat/dampak korupsi ?
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel
Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi,
percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada
dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak
dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi
dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida
(2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
- Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
- ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
- pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat
korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai
pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk
berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam
kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di
atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut
:
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah
merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat
tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945.
Persepsi Korupsi di Indonesia masih menanjak pada
tahun 2011, berikut laporan terakhir CPI dari TI:
Corruption
Perception Index 2011
Indonesia
Masih Berada di Jajaran Bawah Negara-negara Terbelenggu Korupsi
Jakarta, 1 Desember 2011. Korupsi
adalah isu global. Usaha pemberantasan korupsi di Indonesia, harus selalu
mengakar pada konteks dan kepentingan bangsa. Namun di tengah dunia yang
semakin tanpa batas, maka kita tidak bisa melupakan posisi relatif negara kita
dibanding dengan negara-negara lain di dunia dalam usaha pemberantasan korupsi.
Krisis ekonomi di Eropa maupun gerakan perlawanan terhadap rezim pemerintahan di
negara-negara Arab pada awal tahun ini, menunjukkan bahwa kekacauan suatu
negara akibat buruknya tata kelola ekonomi maupun maraknya korupsi tidak hanya
akan merusak negara tersebut, namun memiliki potensi efek domino terhadap
negara-negara lain di sekitarnya.
Transparency International (TI) kembali meluncurkan
Corruption Perception Index (CPI) pada hari ini secara global. Tujuan
peluncuran CPI setiap tahun adalah untuk selalu mengingatkan bahwa korupsi
masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia. Tahun ini CPI mengukur
tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan
10, di mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10
berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua pertiga dari
negara yang diukur memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia.
CPI adalah sebuah indeks gabungan. Indeks ini
dihasilkan dari penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga
internasional yang terpercaya. CPI mengukur persepsi korupsi yang dilakukan
politisi dan pejabat publik.
Jajaran Bawah
Pada tahun ini, 5 negara dengan skor tertinggi adalah
Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Swedia, dan Singapura. Sementara
negara-negara dengan skor terendah (5) adalah Uzbekistan, Afghanistan, Myanmar,
Korea Utara, dan Somalia.
Pada tahun ini, skor Indonesia dalam CPI adalah 3.0.
Bersama dengan Indonesia, ada 11 negara lain yang mendapatkan skor 3.0 dalam
CPI tahun ini. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso,
Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname
dan Tanzania. Indonesia dan negara-negara tersebut menempati posisi 100 dari
183 negara yang diukur. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia berada di bawah
Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Sementara Vietnam, Kamboja, Laos dan
Myanmar skornya lebih rendah dari Indonesia. (skor masing-masing negara
dapat dilihat di tabel yang terlampir).
Tidak ada Perubahan
Pesan yang bisa ditangkap dari hasil CPI adalah tidak
ada perubahan signifikan yang terjadi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Metode pengukuran CPI mensyaratkan kriteria yang dapat menunjukkan indikasi
perubahan persepsi korupsi antar tahun (2010 dan 2011) adalah perubahan skor
minimal 0.3 didukung dengan perubahan yang konsisten (searah) dari minimal
setengah dari sumber data penyusun indeks. Berdasarkan kriteria tersebut,
negara-negara yang terindikasi persepsi korupsinya naik adalah Norwegia,
Rwanda, Taiwan, Georgia dan Chad. Sementara Oman dan Haiti terindikasi
mengalami penurunan. Perubahan skor 0.2 antara tahun 2010 dan 2011 tidak
berarti apa-apa secara metodologi, alias pemberantasan korupsi di Indonesia
jalan di tempat.
Target ambisius
Secara sangat ambisius pemerintah Indonesia
mentargetkan untuk mendapat skor 5.0 dalam CPI tahun 2014. Sayangnya, hasil CPI
tahun ini menunjukkan bahwa memang belum ada perubahan berarti yang sudah
dilakukan Indonesia untuk menciptakan perubahan tersebut.
Agar pemerintah Indonesia memilki arah dalam mencapai
targetnya yang ambisius tersebut, ada beberapa langkah kongkrit yang dapat
dilakukan. Pertama, pemerintah Indonesia harus melakukan perbaikan serius
terhadap proses perijinan usaha. Sumber data CPI salah satunya adalah para
pelaku bisnis, sehingga perbaikan di sektor ini sangat krusial dalam
meningkatkan skor CPI. Sayangnya, sampai saat ini justru tidak terlihat
perbaikan di sektor tersebut. Justru berdasarkan survei Global
Competitiveness Report 2010-2012 yang dilakukan World Economic Forum, peringkat
Indonesia turun. Kedua, perbaikan menyeluruh pada institusi penegak hukum.
Ketiga, penyelesaian kasus-kasus tingkat tinggi yang melibatkan politisi maupun
pejabat publik tingkat tinggi. Hal ini sesuai bila dikaitkan dengan indikator
korupsi dari TI yang lain, yaitu Global Corruption Barometer, yang
secara konsisten menempatkan polisi, parlemen, dan pengadilan sebagai
institusi-institusi yang paling bermasalah korupsi di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, TI-Indonesia dalam kaitannya
dengan peluncuran CPI 2011 mendorong pemerintah agar:
- Melakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan komprehensif untuk menutup peluang korupsi dalam proses perijinan usaha, pajak, dan bea cukai.
- Melakukan perbaikan menyeluruh pada institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan.
- Melakukan penegakan hukum yang keras terhadap politisi, mafia hukum dan pejabat publik tingkat tinggi yang terlibat korupsi
Sumber: www.kompas.com
Apa Peran Pendidikan dalam menanggulangi
korupsi ?.
Pendidikan merupakan instrumen penting dalam
pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkat produktivitas nasional
maupun sebagai pembentuk karakter bangsa. Terlepas dari masalah korupsi itu
sebagai budaya atau bukan yang jelas peran pendidikan akan dapat membantu
meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas korupsi.
Buruknya manusia dapat ditranformasikan ke dalam hal yang positif melalui
pendidikan, karena pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan upaya normatif yang mengacu pada
nilai-nilai mulia yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa, yang dengannya
nilai tersebut dapat dilanjutkan melalui peran transfer pendidikan baik aspek
kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan membimbing manusia menjadi
manusia manusiawi yang makin dewasa secara intelektual, moral dan sosial,
dalam konteks ini pendidikan merupakan pemelihara budaya. Namun demikian dalam
konteks perubahan yang cepat dewasa ini pendidikan tidak cukup berperan seperti
itu namun juga harus mampu melakukan transformasi nilai dalam tataran
instrumental sesuai dengan tuntutan perubahan dengan tetap menjadikan nilai
dasar sebagai fondasi.
Dengan demikian secara umum pendidikan dapat dipandang
sebagai upaya preventif bagi berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun
secara empiris jelas tidak cukup mengingat faktor pressure sosial politik yang
dapat juga mendistorsi peran normatif tersebut. Belakangan ini memang
berkembang wacana akan perlunya pendidikan karakter, namun jika dilihat secara
substantif pendidikan kita seperti tertuang dalam Undang-undang no 20 th 2003
sebenarnya adalah pendidikan karakter, jadi pendidikan karakter ya pendidikan.
Yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan karakter pendidikan bangsa
dapat diselenggarakan dengan menjunjung tinggi kemandirian dan kejujuran,
beberapa kasus yang terjadi justru kebijakan pendidikan tertentu (seperti
UN) telah banyak mendorong sikap dan prilaku ketidak jujuran yang dapat
menjadikan orang terbiasa dengan kecurangan yang nota bene merupakan
potensi bagi berkembangnya korupsi atau paling tidak pengabaian terhadapnya.
Dengan demikian pendidikan merupakan sarana atau bisa juga dipandang
sebagai suatu respon yang tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa
melalui reformasi sosial yang pada gilirannya dapat menjadi pemicu bagi
terjadinya reformasi kelembagaan, sebab Possible responses to these underlying
causes of corruption include institutional reforms to limit authority,
improve accountability, and realign incentives, as well as societal eforms to
change attitudes and mobilize political will for sustained anti-corruption
interventions. While the handbook offers detailed descriptions of different
types of institutional and societal reforms, a strategy to fight corruption
cannot and need not contain each of the institutional and societal reforms
discussed. Strategy choices must be made after taking into account the nature
of the corruption problem and the opportunities and constraints for addressing
it. Reformasi kelembagaan dapat memagari secara eksternal kemungkinan prilaku
korupsi, dan reformasi masyarakat dapat memagari secara internal kemungkinan
tumbuh dan berkembangnya prilaku korupsi, dan semua ini dapat memperbaiki hukum
(aspek kelembagaan) dan memperbaiki serta meningkatkan mutu manusia, dalam
konteks inilah pendidikan menjadi amat penting.
Berikut merupakan salah satu kesungguhan China dalam
memberantas korupsi dalam Bidang Pendidikan yang dapat menginspirasi perguruan
tingi- perguruan tingi di Indonesia:
|
BERITA - berita-dunia.infogue.com
- Satu universitas di China membuka program studi pasca sarjana bidang anti
korupsi yang pertama di negeri itu. Dengan demikian, para lulusan akan
menerima gelar master bidang anti korupsi.
Menurut harian The Global Times, semester pertama program itu sudah dimulai awal pekan ini di Universitas Renmin China di Beijing. Para peserta studi kali berjumlah tiga puluh orang. He Jiahong, deputi direktur pusar penelitian hukum kriminal di Universitas Renmin mengungkapkan bahwa sejumlah jaksa bidang anti korupsi dari pemerintah pusat bersama beberapa akademisi dilibatkan menjadi dosen. Mereka tidak hanya memberi tutorial metode investigasi, namun juga memberi panduan bagaimana menangani kasus-kasus korupsi. "Kursus ini memainkan peran positif dalam penegakan anti korupsi," kata Profesor Lin Zhe dari Sekolah Pengkaderan Partai Komunis China. He Jiahong mengungkapkan bahwa salah satu fokus dari program itu adalah bagaimana memperoleh keterangan dari para saksi, termasuk mempelajari mimik muka dan penerapan uji melacak kebohongan. "Beberapa dari peserta akan menjadi pakar dalam mengelola uji poligraf," kata He. Para calon mahasiswa pun menjalani proses seleksi yang ketat. "Korupsi merupakan masalah yang serius di China. Maka perlu ada suatu pendidikan khusus untuk mempelajari anti korupsi," kata Lin Zhe. |
Sumber:
www.infogue.com
“The duty of youth is to challenge corruption.”
Kurt Cobain
Sumber terkait:
Onghokham, Tradisi dan Korupsi,
Prisma no 2 , tahun XII, pebruari 1983
Frederickson, George, H. 1984.
Administrasi Negara Baru. Terjemahan. Jakarta. LP3ES. Cetakan Pertama.
http://uharsputra.wordpress.com
Kartono, Kartini. 1983. Pathologi
Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.
Lamintang, PAF dan Samosir,
Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit Sinar Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar